Cho Chang-hun

 

Sekitar 1.500 tahun lalu saat masa dinasti Silla Bersatu, suatu peristiwa misterius terjadi. Pada suatu hari, sebuah pulau kecil yang mempunyai pohon bambu muncul di Laut Timur. Namun, anehnya pohon itu menjadi dua batang pada siang hari tapi menjadi satu pada malam hari. Pohon bambu itu dijadikan bahan untuk sebuah alat musik. Jika alat musik itu dimainkan pada saat banjir, hujan berhenti. Jika dimainkan saat kekeringan, hujan turun. Bahkan melodi yang dihasilkan oleh alat musik ajaib itu membuat musuh menyerang mundur dan membantu menyembuhkan penyakit menular. Karena alat musik itu terkenal mampu menenangkan segala gelombang, maka disebut Manpasikjeok.


Orang-orang zaman sekarang mengasumsikan Manpasikjeok itu adalah Daegeum, suling bambu besar. Pada pandangan pertama, Daegeum terlihat mirip dengan alat musik Barat, seruling atau flute. Dibandingkan dengan flute yang menghasilkan suara tinggi, jelas dan manis, Daegeum berbunyi rendah, termasuk nafas kasar dari pemain. Jikalau Daegeum menghasilkan nada tinggi, itu seperti sesuatu yang sedang dirobek-robek.

Tidak seperti alat musik tradisional lain, Daegeum memiliki lubang yang disebut Cheonggong yang ditutupi dengan Cheong, selembar film tipis yang dikupas dari bagian dalam buluh. Ketika seorang pemain meniup instrumen tersebut, Cheong bergetar dan menghasilkan suara khasnya. Bagi orang yang biasa dengan suara yang jelas dan manis, getaran Cheong mungkin tidak menyenangkan di telinga seperti kebisingan. Tapi begitu terbiasa dengan suara Daegeum, melodi tanpa getaran Cheong tentu terasa membosankan. Dapat dikatakan citra musik tradisional Korea adalah bahwa kebisingan pun menjadikan bagian musik dengan cara membuat Cheonggong dengan sengaja seperti itu.

Pemain Cho Chang-hun kini adalah pemegang seni Daegeum Jeongak. Pada tahun 1955, sebuah Sekolah Pelatihan untuk Musisi Gugak didirikan dan menjadi Sekolah Tinggi Gugak Nasional. Dia adalah lulusan pertama sekolah ini. Para musisi yang melakukan kegiatan di istana pada era Joseon dapat melanjutkan kegiatan musiknya di sebuah lembaga pendidikan musik, Iwangjikaakbu selama pemerintahan kolonial Jepang. Karena, para ahli yang mempelajari musik di lembaga pendidikan itu mengajari siswa-siswa di Sekolah Pelatihan untuk Musisi Gugak, sekolah itu dinilai yang terbaik untuk belajar Jeongak. Pemain master Cho Cahng-hun mempelajari Daegeum dari Kim Seong-jin, pemain Daegeum terbaik pada waktu itu.

Pemain master Cho Chang-hun pernah menjadi guru Danso untuk mantan Presiden Park Chung-hee. Pada tahun 1970-an, ketika bekerja di Pusat Nasional Seni Pertunjukan Tradisional Korea, dia direkomendasikan sebagai pemain Danso terbaik dan memberikan pelajaran Danso kepada presiden. Namun, setelah presiden Park meninggal secara tragis pada akhir tahun 1970, Cho Chang-hun juga mengalami kesulitan dan harus meninggalkan Seoul untuk sementara waktu. Ketika itu, dia membentuk kelompok Gugak dan melakukan kegiatan musiknya di daerah dengan sulit.

Kini dia kembali ke posisinya dan mengajarkan Jeongak kepada generasi mendatang. Melodi yang diajarkannya hari ini tentu lebih mendalam daripada yang dimainkannya pada masa mudanya.



Source :kbs

Comments