Salah satu kegemaran saya adalah “bludusan” keluar masuk pasar tradisional. Di Korea Selatan (Korsel) dan utamanya di Seoul, pasar tradisional memiliki rupa yang hampir seragam. Mungkin yang membedakan pasar satu dengan yang lain hanyalah luasan area. Kebersihan dan warna warni aneka barang jualan langsung menyergap mata dan mengundang rasa ingin tahu kita. Berikut ini saya abadikan beberapa gambar suasana pasar tidak jauh dari lokasi rumah saya, Jangwi Sijang (pasar Jangwi).
Hampir kebanyakan pasar tradisional di
Korsel merupakan pasar tanpa atap dan tanpa pengelompokan berdasarkan
kategori barang (los), namun konsep pasar tradisional dalam bangunan
selasar (aula) sebagaimana ditemukan di Indonesia tentu saja ada. Pasar
kecil yang saya biasa kunjungi merupakan pasar setingkat kecamatan. Di
sana, para pedagang cukup menggelar dan mempertontonkan dagangannya di
tepi kiri dan kanan sebuah lorong.
Lorong pasar nan bersih
Walau tidak sehiruk pikuk pasar
tradisional di Indonesia, pasar kecil seperti ini tetap menjanjikan
tamasya sosial-budaya yang tidak menjemukan. Terlebih, pasar-pasar di
Korea tetap gemerlap hingga malam hari karena di waktu itulah orang
Korea justru memiliki kesempatan lapang untuk berbelanja.
Berbelanja di pasar tradisional bukan
berarti kita bisa menawar barang, nah, inilah yang unik dari pasar di
Korea, harga sudah pasti dan diterakan pada sehelai kertas bertuliskan
spidol pada barang tersebut. Berbeda dengan pasar tradisional di
Indonesia yang memberikan ruang sebesar-besarnya untuk menentukan
banyaknya barang yang ingin dibeli atau untuk tawar menawar, misalnya
kita bisa membeli cabai 500 rupiah saja sesuai dengan kebutuhan kita
hari itu atau kita bisa menawar 1 ikat kangkung.
Di Korea, sayur-mayur,
buah-buahan, bumbu dapur, dan banyak kebutuhan memasak lainnya sudah
dihitung dan diikat atau dikemas dalam kantung sehingga hampir tidak
mungkin kita membeli barang secara eceran. Mau tidak mau kita terpaksa
membeli 1 ikat besar sawi seharga 2000 won walaupun kita tidak akan
memasaknya semua, demikian pula terpaksa kita harus membayar 2000 won
untuk satu kantung bawang putih kupasan sebanyak 25 biji.
Saran saya,
jika kiranya kita hanya membutuhkan sedikit saja, maka pergilah
berbelanja bersama kawan sehingga nantinya bisa saling berbagi. Tak
perlu belajar bahasa Korea untuk bisa berbelanja di pasar tradisional
karena sudah saya sebutkan bahwa semua harga terdeskripsi dengan
gamblang, jadi tinggal tunjuk dan bayar.
Aneka hasil laut yang dikeringkan
Demikian pula yang terjadi saat kita berbelanja buah-buahan, 10 butir
jeruk jenis A sudah diletakkan dalam keranjang dan dihargai 2000 won.
Menawar harga 2000 tersebut sudah tentu tidak mungkin, namun kita masih
bisa membeli 5 jeruk jenis yang sama dengan uang 1000 won. Sebenarnya,
barang-barang yang dijual itu sudah dikelompokkan menurut mutu
baik-buruknya dan untuk jenis maupun jumlah yang sama namun memiliki
mutu yang lebih buruk, maka harganya bakal lebih rendah.
kios daging
Timbangan nyaris tidak digunakan dalam proses jual beli, bahkan ketika
kita membeli aneka kacang-kacangan atau biji-bijian. Pada jenis barang
ini, pedagang telah menyediakan alat takar ala Korea berupa kotak
persegi dari kayu (seperti jaman dahulu penjual di Indonesia menggunakan
kaleng bekas untuk menakar). Penggunaan timbangan akan lebih mudah
ditemui di kios penjual daging. Oh ya, harga daging sapi lokal di Korea
bisa dua kali lipat harga daging babi. Korea Selatan juga mengimpor
daging sapi potong dari Amerika Serikat dan mereka menjualnya dengan
harga lebih murah ketimbang daging sapi lokal demi melindungi usaha
peternak lokal. Cerita soal harga, seringkali harga barang di pasar
tradisional malah lebih mahal ketimbang barang yang sama di supermarket.
Kita bisa memaklumi hal ini karena pedagang kecil seperti mereka harus
menarik untung lebih besar dan nyatanya dengan keadaan demikian, daya
tarik pasar tradisional masih tetap kuat.
Ketersediaan dan harga sayur mayur maupun
buah-buahan di Korea dan mungkin di banyak negara empat musim
senantiasa tergantung musim. Sudah bisa diduga, sayuran pada musim panas
jauh lebih beragam dan lebih murah ketimbang musim dingin. Tapi terus
terang, selama ini saya tidak terlalu berbahagia dengan ragam
sayur-mayur di Korea, terlalu sedikit dan seringkali tidak memungkinkan
untuk dimasak dengan gaya Indonesia.
Jangan berharap menemukan kunyit,
cengkih, daun salam, serai, atau daun jeruk dalam koleksi bumbu masak
karena semua itu tidak ditanam dan digunakan oleh manusia Korea.
Alih-alih menemukan mereka, kita bakal menemukan aneka
ranting-rantingan, kayu, dan beberapa akar-akaran sebagai bumbu masak.
Yang paling menyenangkan ketika plesiran
ke pasar tradisional di Korea adalah menikmati ragam jajanannya.
Penampilannya cukup bersih dan rata-rata mengenyangkan. Korea juga
memiliki angkringan loh! Tapi angkringan model begini tidak menyediakan
nasi kucing atau kopi tubruk. Cemilan yang disediakan umumnya meliputi,
gorengan, kue tepung beras yang dimasak dalam kuah bumbu merah pedas (togpokki), rebusan tepung rasa ikan (odeng), sate ayam (loh ada sate ayam), usus babi yang diisi mie dari tepung beras (sunde), dan jeroan babi. Wah, ini sudah barang tentu menu yang tidak layak untuk kaum muslim hehehehe.
Selain semua bahan pangan, seperti biasa,
pasar tradisional juga menjadi tempat berjualan benda-benda sandang,
tetek bengek kesehatan tubuh dan kulit, dan tentu saja perangkat
kecantikan.
Oh ya, jangan kaget jika menyaksikan gaya penjual Korea yang galak atau “nggugu karepe dewe” (dalam bahasa saya mereka tipe penjual yang deterministik hahahahha).
Tapi perilaku ini nyaris jamak di pasar tradisional manapun kita
kunjungi. bagaimana sih gaya deterministik yang mereka peragakan?
Misalnya seperti ini, kita sedang asyik memilih dan menimang barang,
ketika kita bertanya harga, tiba-tiba si penjual (yang kebanyakan
didominasi oleh ibu-ibu) sudah memegang kantung plastik dan mengambil
alih barang tersebut untuk segera dikemas sambil sekali-kali meneriakkan
harga barang tersebut. Tak ayal, kita terpaksa harus segera membayar
barang tersebut sebelum si ibu penjual menggerundel. Entah bagaimana
kejadian selanjutnya jika kita menolak membayar dan meninggalkan si ibu
tersebut, belum pernah saya melakukannya hehehehehe. Hal unik lainnya
adalah perilaku seolah penjual itu raja, sebagai contoh
kita sudah memutuskan barang yang hendak dibeli, tapi penjual malah
meyakinkan kita bahwa barang yang kita pilih jelek dan dia sudah
menyodorkan barang pilihannya sendiri, ealah……
Source : mata ingin bicara
Shared By IniSajaMo
Comments
Post a Comment
Terima Kasih sudah memberikan komentar dihalaman IniSajaMo