Sarjana Yang Membaca Buku, Lee Deok-mu

 

Si Bodoh Yang Membaca Buku

Setiap saat aku memegang gagang pintu kamar ini, hatiku selalu berdebar-debar. Saat aku masuk ke dalam kamar, terasa seperti buku-buku yang tertata dengan rapi memandang aku. Debaran hati terasa saat hatiku menghadapi hati seseorang di dalam buku. Halaman buku yang sudah usang terasa seperti menantikan sentuhanku. Hatiku yang terasa murung terhibur oleh lagu dari orang-orang di masa lalu, serta bunyi ombak di negara kepulauan yang terasa asing kadang-kadang mendebarkan hatiku.


Tulisan tersebut yang mengekspresikan kegembiraan untuk membaca buku membuat kita merasakan betapa dia menggemari buku. Saat dia membaca buku yang belum dia kenal, senyuman selalu terpancar di wajahnya. Dia tertawa dan berteriak sambil membaca buku di dalam kamar sepanjang hari, sehingga dia menjuluki diri sendiri sebagai 'si bodoh yang tergila pada bacaan buku.' Dia tiada lain adalah Lee Deok-mu yang mengibarkan namanya sebagai sarjana Pembelajaran Praktis atau Silhak di Joseon. Mengapa dia tenggelam pada bacaan buku?

Terikat Sistem Kelas Sosial

Lee Deok-mu lahir di Seoul pada tahun 1741 sebagai keturunan ke-10 dari pangeran Murim yang merupakan putra dari selir raja Jeongjong. Dari segi silsilah keluarga, keluarganya memiliki kekuasan tinggi, namun Lee Deok-mu selalu tertahan pada batasan status sosial.

Dia adalah putra dari selir, yaitu ibu dari kalangan rendah, Yangmin dan ayah dari kalangan tinggi Yangban, sehingga kegiatan sosialnya selalu terbatas akibat peraturan di Joseon, yaitu 'putra dari selir tidak boleh memegang jabatan di dalam pemerintahan.'

Walaupun Lee Deok-mu sangat pintar sejak masih kecil, dia berstatus putra dari selir, sehingga tidak dapat memegang jabatan di pemerintahan. Dia hanya bertani atau berdagang. Dengan demikian, dia menjalani hidupnya dalam keadaan miskin. 

Mengembangkan Pembelajaran Praktis 'Nothern Learning'


Namun demikian, Lee Deok-mu membaca puluhan ribu buku dan mengibarkan namanya sebagai penyair saat dia berusia 20 tahun bersama Park Je-ga, Yu Deuk-gong, dan Lee Seo-gu. Pada tahun 1766, dia menjadi anggota komunitas sastra yang terdiri dari putra-putra dari selir serta dipengaruhi oleh sarjana Silhak seperti Park Ji-won, Hong Dae-yong, Park Je-ga, dll. Pada tahun 1778, dia memegang jabatan sementara sebagai pemberi catatan mengenai kawasan Cina saat delegasi Joseon dikirim ke Cina, dan catatannya bermanfaat untuk memperluaskan pandangan terhadap Cina. Lewat pergaulan dengan penyair di negara Qing, dia membawa buku-buku mengenai ilmu arkeologi ke Joseon, sehingga dia menghubungkannya dengan mengembangkan teori 'Nothern Learning' atau Pendidikan Utara. 

Maju Ke Dunia Di Era Pembelajaran Praktis


Lee Deok-mu yang mengibarkan namanya sebagai cendekiawan berhasil menduduki jabatan di dalam pemerintahan pada tahun 1779. Raja Jeongjo yang berasal putra dari selir juga menaruh perhatian pada masalah mengenai putra dari selir. Dengan demikian, raja Jeongjo membolehkan putra dari selir untuk maju ke jabatan pemerintahan pada tahun 1779, serta memberikan tugas penting kepada sejumlah sarjana yang berasal putra dari selir sebagai pejabat di Perpustakaan Kerajaan Gyujanggak untuk memperbaiki isi buku dan mengembangkan ilmu.

Jabatan serupa itu sangat baik bagi Lee Deok-mu yang suka membaca buku, sehingga dia memusatkan pikiran untuk membenahi buku dan menerbitkan buku dengan baru. Demikianlah, Lee Deok-mu bermanfaat untuk mengembangkan Pembelajaran Praktis dan menduduki jabatan tinggi di dalam pemerintahan sambil memperoleh kepercayaan dari raja Jeongjo sampai meninggal dunia pada tahun 1793 akibat penyakit.

Setelah kematiannya, raja Jeongjo yang menghargai Lee Deok-mu menerbitkan buku syair Lee Deok-mu berjudul 'Ajeongyugo' di Gyujanggak pada tahun 1796. Walaupun dia lahir sebagai putra dari selir, dia memperoleh pengetahuan lewat bacaan buku dan mendapat hormat dari raja. Demikianlah, dia cukup menunjukkan arah hidupnya sebagai salah satu cendekiawan.


Source :KBSWorld
Shared : IniSajaMo









Comments