Tiga Alasan Seru Untuk Menonton "Roaring Currents"


Tampaknya Korea Selatan tidak mau kalah dengan Hollywood untuk membuat film berlatarbelakang sejarah dengan biaya produksi besar tanpa mengesampingkan faktor kesuksesan di pasar seperti halnya “Gladiator” atau “300”. Setidaknya, musim panas ini, satu film berlatar sejarah Negeri Ginseng itu mengejutkan publiknya sendiri dengan pencatatan rekor baru.

Mengalahkan “The Host,” film Korea terlaris sepanjang masa, “The Admiral: Roaring Currents,” berhasil menarik penikmat film hingga 17 juta orang dan telah meraup keuntungan dari penjualan tiket 123,66 juta dollar. Padahal, masa tayang film ini baru satu bulan. Jadi, hampir dipastikan angka ini akan terus berubah.

Beruntung bagi penikmat film di Indonesia karena film garapan sutradara Kim Han Min ini bisa ditonton juga di sini (Blitz Megaplex). Berbekal penasaran, saya pun memutuskan untuk menonton film yang bercerita tentang kemenangan pertempuran di laut pasukan yang dipimpin Panglima Yi Sun-Shin tahun 1597 melawan Jepang ini.

Sepintas, film ini mengingatkan saya pada film Mandarin garapan John Woo, "Red Cliff", terutama dari perasaan positif dari awal film akan taktik-taktik perang yang dikeluarkan dari pemimpin yang karismatik. Baik “Roaring Currents” maupun “Red Cliff,” pemilihan aktor sebagai tokoh pemimpinnya sangatlah tepat. Choi Min Sik dan Tony Leung adalah aktor watak yang sudah tidak perlu diragukan lagi aktingnya.

Namun, ada tiga alasan utama kenapa film berdurasi 2 jam 7 menit ini asyik ditonton hingga akhir.

Alur Cerita Cepat
Terlepas dari corak warna yang muncul di adegan-adegan awal yang suram, satu yang membuat film ini menarik adalah alur cerita cepat dan tidak bertele-tele sehingga penonton pun terus terkait pada film. Latar belakang tokoh-tokoh utama beserta konflik pribadi dipaparkan hanya dengan beberapa adegan dan dialog bersamaan dengan pembangunan konflik cerita. Hal yang sama seperti yang sutradara sekaligus penulis skenario Kim Han Min terapkan dalam film sebelumnya, “War of the Arrows”.

Jika harus menyebutkan kelemahan dari alur cerita cepat ini dalam film ini adalah menjadi terlalu banyaknya unsur kebetulan yang sebenarnya jika dicerna logika, ya tidak masuk akal (kalau tidak boleh disebut agak sedikit memaksa). Namun, berhubung sudah dari awal terasa jika film ini akan menunjukkan kebesaran sang Panglima, kelemahan dalam menjahit alur cerita tidaklah terlalu mengganggu.




Aktor Watak dan Aktor Drama
Faktor lain yang membuat film ini asyik untuk ditonton adalah banyak aktor yang wajah-wajah cukup familiar bagi penikmat film maupun drama Korea. Sebagai Panglima Yi Sun-Shin, pemilihan Choi Min Sik sangatlah tepat.Berkat film “Old Boy,” wajah aktor watak ini sudah tidak asing lagi buat penikmat film di luar Korea.Selain itu, ada beberapa jejeran aktor watak yang juga selalu jadi jaminan box office juga berakting di sini seperti Ryu Seung Ryong (“Miracle in Cell No. 7”) dan Cho Jin Woong (“Nameless Gangster,”  dan “Kundo: Age of the Rampant”).

Dan untuk memberi “kesegaran mata” dalam film serius ini, aktor-aktor muda yang kerap mencuri adegan dalam drama-drama Korea pun dipasang sebagai aktor-aktor pembantu. No Min Woo, yang popular berkat drama “Full House Take 2,” berperan sebagai Haru, penembak jitu pasukan Jepang.

Selain itu ada juga, Go Kyung-pyo (“Flower Boys Next Door”), Park Bo-gum (“Wonderful Days”) dan Kwon Yul (“Angel's Revenge”) yang walau mendapat porsi yang tidak begitu banyak dalam film tapi sangat membantu dalam mendramatisir cerita.




Produksi Besar
Hal lain yang membuat film ini menarik karena terlihat dari adegan-adegan perang jika produksi film ini dikerjakan serius dan pastinya membutuhkan dana yang tidak kecil. Kabarnya, biaya untuk produksi film ini menghabiskan dana sekitar 18,6 juta dolar.

Selain pembuatan set dan properti syuting seperti pembuatan perahu kura-kura, penggarapan gambar-gambar yang digenerasikan oleh komputer (CGI) terlihat begitu detail dan halus (detail pusaran air, ombak dan juga pertempuran di tengah laut). Ada tiga negara di Asia yang terlihat mahir menggunakan teknik CGI dalam karya film mereka, Jepang, Cina (termasuk Hong Kong) dan Korea Selatan. Dibanding Cina, gambar-gambar CGI produksi Negeri Ginseng ini lebih enak dilihat karena terlihat seperti adegan nyata, tidak tempelan. Dan, hal yang terakhir ini jugalah yang membuat penonton pun tidak merasa tertipu dan “kuat” menonton dari awal hingga akhir film.


Ditulis













Comments