Warga Korea Selatan Terancam Hadapi Pemadaman Listrik



Politik memang unik. Beberapa pihak demi mempertahankan kepentingan politiknya, berusaha melakukan apa saja. Bahkan, demi mempertahankan atau meningkatkan suara dalam pemilu, pemerintahan berkuasa di Korea Selatan (Korsel) tidak mau menaikkan tarif listrik. 
Akibatnya, kini warga harus bersiap menghadapi ancaman pemadaman listrik kapan saja. Pada 15 September lalu,tak kurang dari 2,1 juta rumah tangga dan tempat lain mengalami pemadaman listrik bergilir selama satu jam. Pemadaman seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sekitar 2.900 orang terjebak di dalam lift, lampu lalu lintas padam di berbagai kota dan lini perakitan pabrik harus berhenti beroperasi sementara waktu, ketika pihak berwenang memangkas suplai listrik karena cadangan listrik dalam kondisi yang sangat rendah. 

Insiden ini menyebabkan Presiden Lee Myung-bak marah.Dia langsung memarahi perusahaan listrik Korsel, Korea Electric Power Corp (KEPCO), atas apa yang dia sebut sebagai keterbelakangan mereka. ”Ini membuat darah saya mendidih! Saya merasa malu bahkan hanya karena membicarakannya,” ujar Lee. Sebenarnya, pemadaman itu tidaklah parah jika dibandingkan dengan standar beberapa negara. Namun, Korsel membanggakan infrastruktur kualitas tingginya dan juga sangat ingin mengekspor pakar tenaga nuklirnya,yang menyumbangkan 35% listrik negara itu, sebagai mesin pertumbuhan baru.
Pejabat pemerintahan menuding kenaikan permintaan listrik tiba-tiba akibat hari musim gugur yang panas.Pada saat yang sama, output hanya 90% dari normal karena banyak stasiun pembangkit listrik sedang menjalani perawatan. Menteri Perekonomian Choi Joong-kyung mengakui tenaga cadangan berada dalam level yang sangat rendah karena permintaan yang salah hitung. Para pakar memperingatkan ancaman pemadaman listrik terus berlanjut, kecuali langkah agresif diambil untuk meningkatkan produksi atau mengurangi konsumsi. 

”Pemadaman listrik bisa terjadi kapan saja karena pemakaian berlebih,” papar Jeong Hangyeong, periset di Korea Energy Economics Institute, kepada AFP. Konsumen menyebabkan semuanya terus berputar, mesin pendingin pada musim panas dan mesin pemanas pada musim dingin, karena bahan bakar lainnya terlalu mahal dibanding listrik.”Ini masalah struktural,”ujar Jeong.Dia menuding pemerintah memaksa KEPCO mempertahankan tarif listrik berada di bawah biaya produksi. 

Pada 2009,konsumsi per kapita nasional mencapai 8.833 kilowatt per jam dibandingkan 5.607 kilowatt di Inggris dan 7.818 kilowatt di Jepang. Angka KEPCO memperlihatkan harga listrik di Inggris dua kali lipat lebih malah dibandingkan Korsel,sedangkan Jepang sekitar 2,5 kalinya. ”Karena tarif murah, banyak orang bergantung pada listrik sebagai sumber energi utama, dengan hampir semua konsumen menikmati diskon,” ujar Jeong. Petani, misalnya, mendapat diskon hingga 65%.
Lee Soo-il, periset di Korea Development Institute, memaparkan, satu-satunya jalan keluar saat ini adalah mengurangi konsumsi. Pakar lain mengecam pemerintah yang menunda kenaikan tarif listrik sebagai usaha untuk memacu pertumbuhan dan mengekang inflasi. ”Politikus itu bodoh kalau mengira cara terbaik melayani rakyat adalah membuat tarif listrik tetap murah. Mereka menimbulkan krisis energi— pemadaman karena kebiasaan,” ujar dosen Sohn Yang-hoon dari Universitas Incheon dalam komentar di sebuah koran. 

”Mereka berani tidak menaikkan tarif listrik, insentif yang bekerja efektif untuk menjinakkan permintaan, karena mengkhawatirkan inflasi.” Koran di Korsel meminta adanya perombakan menyeluruh di KEPCO. ”Kasihan sekali pemerintah Lee,yang berulang kali menyombongkan diri mendapatkan kontrak miliaran dolar untuk membangun pembangkit tenaga listrik nuklir yang didesain Korea di luar negeri, mengalami insiden belum sempurna seperti itu,”
Foto Lee Hong Ki waktu mati lampu tgl 15/9/2011 Lee tweeted gambar dengan komentar, “mati lampu … Tapi dokter masih melihat saya. Dia adalah yang terbaik. “
JoongAng Daily.


Comments