Pada zaman dahulu, tinggal seorang sarjana
bersama dengan keluarganya dengan miskin. Walaupun demikian, sarjana itu
tidak ingin bekerja dan hanya membaca buku saja. Maka, istri sarjana
itu bersusah payah untuk menghidupi keluarganya.
Pada suatu siang hari
di musim gugur, si istri menjemurkan padi-padian di halaman rumahnya,
lalu pergi bekerja ke sawah orang lain dengan meminta suaminya untuk
menjaga padi-padian itu. Tidak lama lagi tiba-tiba hujan lebat turun,
tapi si istri meneruskan pekerjaannya tanpa mengkhawatirkan jemuran di
halaman rumahnya.
Hari telah menjadi malam dan si istri pulang ke rumah.
Tetapi, dia tidak dapat menemui padi-padian yang dijemurkannya tadi
siang, karena itu sudah hanyut dibawa hujan lebat. Si istri merasa
sangat kesal dan kecewa kepada sang suaminya yang tidak mempedulikan
keluarga dan urusan rumah tangganya. Dia berpikir-pikir dan akhirnya
memutuskan bercerai dengan suaminya. Ketika dia menyampaikan niatnya itu
pun, si suami tidak menghalanginya juga.
Setelah beberapa tahun berlalu, di desanya ada iring-iringan pejabat tinggi baru dari kerajaan. Si istri dapat menyaksikan suaminya menjadi pejabat tinggi dan menyesal. Kemudian, dia menghadapi suaminya dan meminta maaf atas perbuatannya pada masa lalu.
Setelah mendengarkan
mantan istrinya, si suami menyuruh kepadanya untuk membawa seember air.
Sewaktu membawa air, si suami menumpahkannya ke tanah, lalu menyuruh
lagi kepada mantan istrinya untuk memasukkan tumpahan air itu ke dalam
ember.
Bagaimana bisa melakukannya? Tapi si istri tidak bisa menyerah,
sehingga dia menaruh ember itu di atas bukit dan meminta orang-orang
yang lalu lalang untuk meludahi embernya. Dia berniat mengisi embernya
dengan mengumpulkan ludah orang supaya tinggal bersama dengan suaminya
lagi.
Dengan cara itu, keinginannya dapat terkabulkan! Sejak itu, bukit
tersebut diberinama Bukit Meludahi.
Infromasi Wisata |
Source : world.kbs.co.kr
Comments
Post a Comment
Terima Kasih sudah memberikan komentar dihalaman IniSajaMo