Belajar “Pali-Pali” di Negeri Gingseng



Waktu begitu cepat dan tidak terasa hari ini tepat saya bekerja selama lima tahun di Korea Selatan. Ketika saya menulis ini saya sedang berada di Indonesia bersama dengan beberapa mahasiswa dan profesor saya yang sedang mengikuti SolBridge Asian Market Research Project. Indonesia memang menjadi primadona dan “gadis cantik” bagi orang asing. Tidaklah mengherankan jika banyak negara khusus datang dan berinvestasi di sini, termasuk Korea Selatan. 

Saya datang di Korea pada bulan Februari 2009, ketika musim dingin sedang berlangsung di sana. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa musim dingin di Korea sebegitu dinginnya. Seminggu di Korea membuat saya tidak betah dan ingin kembali ke Tanah Air. Itulah tantangan dan awal perjuangan saya di Korea Selatan. Tidak ada yang mudah dalam menjalani hidup di negara orang. Proses adaptasi menjadi begitu penting supaya kita dapat hidup dengan lebih baik di negara tersebut.

Negeri berpenduduk kurang lebih lima puluh juta jiwa, dengan luas wilayah lebih kecil dari Pulau Jawa dan merdeka pada tahun 1945, dua hari lebih awal dari Indonesia menjelma menjadi negara dengan kekuatan ekonomi paling kuat di dunia. Hal ini terbukti dengan masuknya Korea sebagai salah satu negara kelompok G20. Dalam sejarahnya sesudah Perang Dunia pada tahun 1950, Korea menjadi salah satu negara termiskin dengan GNP perkapita sebesar US81. Korea juga menjadi negara penerima bantuan dari negara-negara donor. Namun demikian sejak tahun 1996 Korea menjadi salah satu negara donor Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Kisah sukses Korea ini memang menjadi banyak inspirasi bagi negara lain. Bagaimana Korea bisa menjelma seperti ini? Tentu saja tidak mudah. Perlu kerja keras dan kerja sama yang baik dari semua pihak. Selama lima tahun tinggal dan bekerja di Korea membuat saya lebih paham dengan budaya dan menjadi tahu mengapa Korea dapat berubah sedemikian cepat. Tentu saya ada hal positif dan negatif yang saya pelajari di sini. Namun demikian saya lebih suka bicara hal yang positif. Hal positif ini yang seharusnya dapat kita tiru tidak hanya buat diri kita sendiri tetapi juga buat keluarga, orang lain, dan negara Indonesia. 

(1)Pali Pali
Dalam bahasa Indonesia Pali Pali dapat diartikan sebagai “cepat-cepat”. Di manapun Anda berada kata ini sering terdengar. Ketika bos Anda mengatakan Pali Pali maka Anda harus bergegas menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan cepat. Tidaklah mengherankan kadang-kadang karena budaya ini, banyak orang asing yang mengeluh. Mereka berpikir ini adalah sebuah “tekanan” bagi mereka. Pada kenyataannya lewat Pali-Pali-lah orang Korea bisa bergerak cepat dalam bekerja dan mengubah negara mereka menjadi negara maju.

Suasana Pali Pali juga dapat Anda temui di jalanan. Orang Korea berjalan dengan sangat cepat. Jangan kaget ketika nanti Anda berjalan dengan orang Korea mereka akan sudah berada jauh di depan Anda. Bukan sekali atau dua kali saya mengingatkan kepada mahasiswa Indonesia yang mengikuti program Immersion di kampus untuk berjalan cepat seperti mereka. 

Namun demikian, hal terpenting tidak hanya Pali Pali saja ketika mereka melakukan sesuatu  tetapi mereka juga harus berpikir dengan cermat mengenai Pali Pali sehingga dampaknya akan baik untuk semua. Lewat budaya inilah, menurut saya Korea menjadi inovatif, dalam artian berpikir cepat untuk maju. 


(2) Kejujuran
Kata ini seakan menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Seorang kolega saya begitu panik ketika laptop dan kamera dia tertinggal di luar Bandara Internasional Incheon, Korea pada suatu hari. Dia pun ingin kembali dan mengambil barangnya tersebut. Saya yang sudah biasa berhadapan dengan hal ini hanya mengatakan bahwa tidak perlu cemas, saya akan menelepon bandara dan semoga besok barang sudah bisa diambil atau dikirim ke kampus. Keesokan harinya barang sudah sampai di kampus dengan kondisi yang sama. 

Mengapa hal ini bisa dilakukan? Apakah semua orang Korea kaya dan tidak perlu uang? Tentu saja tidak.

Sikap kejujuran orang Korea juga diajarkan di lingkungan pendidikan. Tempat di mana nilai-nilai penting dalam hidup ini dipelajari. Di kampus saya, di bagian pelayanan mahasiswa ada namanya “Lost and Found”. Setiap akhir semester ada pengumuman mengenai barang yang hilang dan ditemukan. Siapa saja dapat pergi ke tempat ini untuk mengambil barangnya. Janganlah heran jika kadang-kadang banyak orang meletakkan barangnya dengan ‘seenaknya’ tanpa takut diambil atau dicuri.

Selain itu sikap kejujuran benar-benar dipraktekkan dan diterapkan di sini. Para pejabat menjadi model bagi orang lain. Pada tahun 2009, Presiden Korea Roh Moon-hyun bunuh diri karena diduga terlibat skandal korupsi. Suatu kehilangan besar bagi bangsa Korea. Tokoh yang sangat mendukung rakyat sipil ini sangat disegani di Korea. Di sini saya melihat langsung bahwa orang Korea punya budaya ‘malu’ dalam diri mereka. Apa yang dia katakan harus selaras dengan perbuatannya.


(3) Disiplin
Faktor ini menjadi faktor yang sangat penting. Contoh kedisiplinan adalah waktu. Hal ini bisa kita lihat bagaimana mereka bekerja dan dalam membuat janji. Jika mereka berjanji pukul 08:00 maka mereka akan pasti datang pukul 08:00. Gambaran tepat waktu dapat kita lihat juga dari transportasi publiknya. Jangan pernah berharap bis atau kereta api akan menunggu Anda. Pukul 08:00 seperti tertera di tiket pasti akan berangkat pukul 08:00. 

Mengapa hal ini bisa dilakukan? Apakah semua orang Korea mempunyai pemikiran yang sama mengenai waktu? 

Dalam suatu kesempatan mahasiswa saya yang baru datang di Korea harus ketinggalan bis di tempat rest area. Biasanya bis antarprovinsi akan berhenti selama 15 menit di rest area dan penumpang akan diberi kesempatan untuk pergi ke kamar kecil atau untuk membeli sesuatu. Karena keasyikan melihat-lihat barang di rest area mahasiswa saya sampai lupa waktu dan bis meninggalkan dia dan barang-barangnya terbawa bis tersebut. Tentu saya dia sangat terkejut. Untungnya semua barangnya kembali ketika dia sampai di kampus. 


(4) Kerja Keras
Orang Korea tidak segan-segan untuk tinggal di kantor sampai larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Terkadang anak buah tidak akan pulang jika bos mereka belum meninggalkan kantor. 

Walaupun ada banyak perbedaan pendapat mengenai hal ini, yaitu mereka bekerja tidak cerdas saya selalu berpendapat kebalikannya. Seorang pemimpin akan selalu menunjukkan bahwa dia bekerja dengan keras dan bahkan di hari libur. Hal ini membuat anak buahnya menjadi segan, semangat, dan disiplin.

Di sini saya dapat melihat langsung bahwa mereka mempunyai sikap kerja keras dan ini juga diterapkan dalam kehidupan mereka. Bagi mahasiswa kerja keras ini juga sangat terasa. Banyak dari kita terkadang mengeluh karena tugas yang begitu banyak dan tiada henti. Namun demikian pihak kampus juga memberikan fasilitas yang bagus. Perpustakaan dibuka dari pagi sampai pukul sebelas malam. Untuk ujian tengah semester dan akhir semester perpustakaan akan buka selama dua puluh empat jam. 

Contoh lain yang bisa dilihat di sini adalah petugas kebersihan. Jangan pernah membayangkan bahwa petugas kebersihan di sini anak muda. Mereka umumnya adalah wanita berumur lebih 50 tahun. Di Korea mereka dipanggil “Ajumma”. Orang-orang ini bekerja sampai tua. Hal ini bukan berarti mereka tidak punya uang. Dalam hidupnya mereka sudah terbiasa bekerja. Mereka bekerja sampai akhir hayatnya. 


(5) Loyalitas
Tidak dipungkiri bahwa loyalitas dalam bekerja sangat penting dalam kebudayaan Korea. Mereka akan sangat menghargai para karyawan yang punya loyalitas dengan pekerjaan dan juga tempat bekerja. Mereka memang jarang memuji seperti mengatakan “great work” atau “well-done” tetapi mereka menggungkapkannya dengan cara lain. 

Mereka juga tidak segan-segan memberi hadiah yang kadang-kadang tidak pernah kita bayangkan. Hadiah dalam ini tidak selalu uang. Mereka kadang memberikannya untuk orang dekat kita, misalnya ketika di Korea mereka akan menyediakan fasilitas kepada keluarga kita. Loyalitas ini memang harus dibangun. Kebanyakan orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Korea hanya bertahan satu atau dua tahun. Mereka kebanyakan membandingkan antara perusahaan satu dengan lainnya. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. 

Inilah yang membuat orang Korea kadang-kadang berhati-hati dalam merekrut karyawannya di sini. Mereka berharap bahwa karyawan tersebut akan kerja keras dan bekerja di perusahaannya seumur hidup. 


(6) Rasa Malu
Orang Korea punya rasa malu. Jika mereka buat kesalahan tidak segan-segan mereka mengundurkan diri dan menutup komunikasi dengan orang lain. Bahkan mereka juga bisa ‘bunuh diri’. Contoh yang menarik adalah program jaminan sosial di sini. Pemerintah memberikan bantuan kepada para penggangur yang tidak dapat bekerja setelah selesai belajar. Namun demikian, sangat jarang anak muda di Korea yang mau mendapatkan jaminan ini. 

Bagi mereka malu untuk menerima bantuan. Yang ada adalah mereka mau bekerja keras untuk mendapatkan pekerjaan. Tidaklah mengherankan jika Anda pergi ke Korea, sangat jarang Anda temui para pengemis di jalan-jalan. Dalam kamus hidup mereka memberi lebih baik dari pada menerima bantuan. 

Budaya Pali Pali, Sikap Kejujuran, Disiplin, Kerja Keras, Loyalitas, dan Rasa Malu tersebut sebenarnya sudah banyak diajarkan oleh keluarga, guru, dan “tokoh agama” tetapi mengapa kita serasa masih jauh dari Korea Selatan. 




Jakarta, 24 Februari 2014, SolBridge Asian Market Research Project, Travel Blog: Travel with Ony Jamhari
Source : http://edukasi.kompasiana.com/2014/02/24/belajar-pali-pali-di-negeri-gingseng--634337.html

Comments